Wednesday 10 February 2016

Sepatu Bermata Dua untuk Tunanetra - Psikologi ABK (Anak Berkebutuhan Khusus)

Tunanetra adalah suatu kondisi di mana seseorang tidak bisa melihat atau tidak bisa menggunakan penglihatannya secara baik dalam aktivitasnya sehari-hari (Nawawi, 2010). Oleh karena itu, salah satu konsekuensi dari seorang tunanetra adalah adanya keterbatasan kemampuan aktivitas dalam orientasi dan mobilitas. Agar bisa melaksanakan aktivitasnya sehari-hari dengan lancar tanpa mengalami banyak hambatan, tunanetra perlu menggunakan alat bantu asistif, yaitu alat bantu yang dapat memudahkan tunanetra dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari (Nawawi, 2010). Alat bantu asistif ini bisa dikatakan sebagai pengganti penglihatan.
Pada umumnya, untuk bergerak dan berpindah tempat, penyandang tunanetra menggunakan alat bantu tongkat untuk mengetahui benda yang ada di sekitarnya. Keahlian dalam memakai tongkat ini memerlukan proses pelatihan yang terstuktur agar tunanetra dapat menggunakan tongkat dengan baik (Aqli, 2014). Pada era teknologi ini, telah diciptakan bermacam-macam alat berbasis teknologi untuk memudahkan mobilitas seorang tunanetra, salah satunya adalah Edges Shoes, atau yang dijuluki sebagai sepatu bermata dua.
Edges Shoes ini diciptakan oleh pelajar Indonesia, yakni Muhammad Luqman dan Faishal Fuad Rahman yang bersekolah di SMA Negeri 2 Yogyakarta. Mereka berdua menciptakan sepatu ini dengan tujuan agar para tunanetra tidak lagi bergantung pada tongkat untuk melakukan aktivitas yang memerlukan mobilitas. Edges shoes atau sepatu bermata dua ini merupakan istilah untuk sepatu yang dilengkapi dengan sensor inframerah dan perangkat robotik jenis robot pengikut atau robot line follower. Sensor pada robot tersebutlah yang diaplikasikan pada sepatu. Sumber daya yang dipakai adalah baterai ponsel, dan pada bagian bawah sepatu terdapat sensor yang dapat mendeteksi warna.
Karena dasar dari sepatu ini adalah bekerja dengan mendeteksi warna, maka terdapat beberapa hal yang harus tersedia untuk mendukung kinerja alat ini. Salah satunya yakni untuk mendukung kinerja sepatu bermata dua ini, penyedia fasilitas gedung maupun trotoar harus mendesain ubin dengan warna hitam dan putih. Warna hitam bisa digantikan dengan warna gelap, dan jalur dengan warna gelap inilah yang akan menjadi jalan bagi para tunanetra. Dengan begitu, penderita tunanetra bisa berjalan tanpa menggunakan tongkat. Saat pengguna keluar dari jalur, maka edges shoes ini akan berbunyi sehingga tunanetra bisa kembali ke jalurnya.
Sepatu bermata dua ini dibuat sejak Luqman dan Faishal duduk di bangku kelas 2 SMA. Mereka melakukan riset dengan didampingi pembimbing di sekolah selama enam bulan. Sepatu ini pun sudah diuji coba di Sekolah Luar Biasa (SLB) Yogyakarta hingga akhirnya dilombakan dan mendapat medali perunggu di ajang lomba inovasi internasional di Thailand. Edges shoes ini pun mendapatkan respon yang positif, terutama dari para tunanetra yang telah mencobanya. Para tunanetra mengeluh kalau memakai brailler harus meraba jalan. Dengan sepatu bermata dua ini, para tunanetra hanya perlu mendengarkan suara, yang mana akan berbunyi jika pengguna keluar dari jalur yang harusnya dilalui.
Namun, alat ini pun masih memiliki beberapa kekurangan. Kekurangan tersebut yakni para penyandang tunanetra harus menggesek-gesekkan kakinya lebih keras dan mereka harus berkonsentrasi penuh saat berjalan. Oleh karena itu, edges shoes ini pun masih terus dikembangkan lagi agar pemakaiannya bisa lebih mudah. Alat ini pun cukup sederhana. Dengan biaya Rp 300.000,00, sepatu bermata dua ini bisa dibuat dengan sistem homemade. Jika diproduksi secara massal, harganya pun akan lebih murah lagi.
Meski masih memiliki beberapa kekurangan, sepatu bermata dua ini tentu akan sangat membantu para tunanetra dalam melakukan mobilisasi dan beraktivitas sehari-hari. Selain bisa mengurangi atau menghilangkan ketergantungan penyandang tunanetra saat berjalan, sepatu ini pun akan memudahkan pergerakan penggunanya hanya dengan mendengarkan suara yang keluar jika mereka berjalan di luar jalur. Alat-alat bantu para penyandang disabilitas seperti edges shoes inilah yang sangat berguna bagi mereka agar aktivitas mereka tidak terhambat sehingga diskriminasi pada mereka pun bisa berkurang.






Daftar Pustaka
Aqli, K. C. (2014). Perancangan Alat Bantu Mobilitas Bersuara dalam Ruangan bagi Tunanetra Berbasis RFID. Malang: Universitas Brawijaya.
Nawawi, A. (2010.) Pendidikan Inklusif Bagi Anak Low Vision. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.



No comments:

Post a Comment