Tunanetra adalah suatu
kondisi di mana seseorang tidak bisa melihat atau tidak bisa menggunakan penglihatannya
secara baik dalam aktivitasnya sehari-hari (Nawawi, 2010). Oleh karena itu, salah
satu konsekuensi dari seorang tunanetra adalah adanya keterbatasan kemampuan
aktivitas dalam orientasi dan mobilitas. Agar bisa melaksanakan aktivitasnya
sehari-hari dengan lancar tanpa mengalami banyak hambatan, tunanetra perlu
menggunakan alat bantu asistif, yaitu alat bantu yang dapat memudahkan
tunanetra dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari (Nawawi, 2010). Alat bantu
asistif ini bisa dikatakan sebagai pengganti penglihatan.
Pada umumnya, untuk
bergerak dan berpindah tempat, penyandang tunanetra menggunakan alat bantu tongkat
untuk mengetahui benda yang ada di sekitarnya. Keahlian dalam memakai tongkat
ini memerlukan proses pelatihan yang terstuktur agar tunanetra dapat
menggunakan tongkat dengan baik (Aqli, 2014). Pada era teknologi ini, telah
diciptakan bermacam-macam alat berbasis teknologi untuk memudahkan mobilitas
seorang tunanetra, salah satunya adalah Edges
Shoes, atau yang dijuluki sebagai sepatu bermata dua.
Edges
Shoes ini diciptakan oleh pelajar Indonesia, yakni
Muhammad Luqman dan Faishal Fuad Rahman yang bersekolah di SMA Negeri 2
Yogyakarta. Mereka berdua menciptakan sepatu ini dengan tujuan agar para
tunanetra tidak lagi bergantung pada tongkat untuk melakukan aktivitas yang
memerlukan mobilitas. Edges shoes
atau sepatu bermata dua ini merupakan istilah untuk sepatu yang dilengkapi
dengan sensor inframerah dan perangkat robotik jenis robot pengikut atau robot line follower. Sensor pada robot
tersebutlah yang diaplikasikan pada sepatu. Sumber daya yang dipakai adalah
baterai ponsel, dan pada bagian bawah sepatu terdapat sensor yang dapat
mendeteksi warna.
Karena dasar dari
sepatu ini adalah bekerja dengan mendeteksi warna, maka terdapat beberapa hal
yang harus tersedia untuk mendukung kinerja alat ini. Salah satunya yakni untuk
mendukung kinerja sepatu bermata dua ini, penyedia fasilitas gedung maupun
trotoar harus mendesain ubin dengan warna hitam dan putih. Warna hitam bisa
digantikan dengan warna gelap, dan jalur dengan warna gelap inilah yang akan
menjadi jalan bagi para tunanetra. Dengan begitu, penderita tunanetra bisa
berjalan tanpa menggunakan tongkat. Saat pengguna keluar dari jalur, maka edges shoes ini akan berbunyi sehingga
tunanetra bisa kembali ke jalurnya.
Sepatu bermata dua ini
dibuat sejak Luqman dan Faishal duduk di bangku kelas 2 SMA. Mereka melakukan
riset dengan didampingi pembimbing di sekolah selama enam bulan. Sepatu ini pun
sudah diuji coba di Sekolah Luar Biasa (SLB) Yogyakarta hingga akhirnya dilombakan
dan mendapat medali perunggu di ajang lomba inovasi internasional di Thailand. Edges shoes ini pun mendapatkan respon
yang positif, terutama dari para tunanetra yang telah mencobanya. Para
tunanetra mengeluh kalau memakai brailler
harus meraba jalan. Dengan sepatu bermata dua ini, para tunanetra hanya perlu
mendengarkan suara, yang mana akan berbunyi jika pengguna keluar dari jalur
yang harusnya dilalui.
Namun, alat ini pun
masih memiliki beberapa kekurangan. Kekurangan tersebut yakni para penyandang
tunanetra harus menggesek-gesekkan kakinya lebih keras dan mereka harus
berkonsentrasi penuh saat berjalan. Oleh karena itu, edges shoes ini pun masih terus dikembangkan lagi agar pemakaiannya
bisa lebih mudah. Alat ini pun cukup sederhana. Dengan biaya Rp 300.000,00,
sepatu bermata dua ini bisa dibuat dengan sistem homemade. Jika diproduksi secara massal, harganya pun akan lebih
murah lagi.
Meski masih memiliki
beberapa kekurangan, sepatu bermata dua ini tentu akan sangat membantu para
tunanetra dalam melakukan mobilisasi dan beraktivitas sehari-hari. Selain bisa
mengurangi atau menghilangkan ketergantungan penyandang tunanetra saat
berjalan, sepatu ini pun akan memudahkan pergerakan penggunanya hanya dengan
mendengarkan suara yang keluar jika mereka berjalan di luar jalur. Alat-alat
bantu para penyandang disabilitas seperti edges
shoes inilah yang sangat berguna bagi mereka agar aktivitas mereka tidak
terhambat sehingga diskriminasi pada mereka pun bisa berkurang.
Daftar Pustaka
Aqli, K. C. (2014). Perancangan Alat Bantu Mobilitas Bersuara dalam Ruangan bagi Tunanetra
Berbasis RFID. Malang: Universitas Brawijaya.
Nawawi, A. (2010.) Pendidikan Inklusif Bagi Anak Low
Vision. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
No comments:
Post a Comment