Wednesday 10 February 2016

Elimination Disorder: Enuresis & Encopresis (2)

2.1. Definisi dan Kriteria Diagnostik Encopresis
Encopresis merupakan perilaku membuang air besar secara berulang di tempat yang tidak tepat, baik disengaja maupun tidak disengaja (APA, 2013). Berdasarkan DSM-V (dalam APA, 2013), kriteria diagnostik dari encopresis meliputi :
a.    Membuang air besar secara berulang di tempat yang tidak tepat (celana, lantai), baik disengaja maupun tidak
b.    Setidaknya satu peristiwa tersebut terjadi setiap bulan selama minimal 3 bulan
c.    Usia kronologis minimal empat tahun (atau sesuai dengan tahap perkembangan)
d.   Perilaku tidak diatribusikan sebagai efek fisiologis dari zat tertentu (misalnya obat pencahar) atau kondisi medis lainnya kecuali mekanisme yang mengakibatkan sembelit
DSM-V (dalam APA, 2013) mengklasifikasikan encopresis ke dalam dua subtipe, yaitu with constipation and overflow incontinence dan without constipation and overflow incontinence.

Elimination Disorder: Enuresis & Encopresis (1)

Elimination disorder merupakan gangguan yang meliputi eliminasi urin atau feses secara tidak tepat (APA, 2013). Meskipun ini merupakan masalah yang sering terjadi pada anak-anak, hal ini dapat menjadi masalah jika perilaku tersebut terjadi berulang kali lebih dari tiga bulan dan dialami oleh anak yang berumur lima tahun atau lebih, di mana seharusnya anak sudah bisa mengontrol perilaku tersebut. Terdapat dua tipe elimination disorder, yakni :
1. Enuresis
Enuresis berasal dari bahasa yunani, yaitu ouresis yang berarti ‘urination’
2. Encopesis

Encopresis berasal dari bahasa yunani, yaitu kopros yang berarti ‘excrement’

1.1. Definisi dan Kriteria Diagnostik Enuresis
Enuresis merupakan urinasi atau perilaku membuang air kecil secara berulang di tempat yang tidak tepat, baik disengaja maupun tidak disengaja (APA, 2013). Menurut Haugaard (2008), enuresis adalah buang air kecil yang terjadi berulang di tempat yang tidak sesuai, pada usia di mana sebagian kebanyakan anak-anak lainnya sudah dapat belajar untuk buang air kecil di toilet. Dalam DSM-V (dalam APA, 2013) kriteria diagnostik dari enuresis meliputi :

Sepatu Bermata Dua untuk Tunanetra - Psikologi ABK (Anak Berkebutuhan Khusus)

Tunanetra adalah suatu kondisi di mana seseorang tidak bisa melihat atau tidak bisa menggunakan penglihatannya secara baik dalam aktivitasnya sehari-hari (Nawawi, 2010). Oleh karena itu, salah satu konsekuensi dari seorang tunanetra adalah adanya keterbatasan kemampuan aktivitas dalam orientasi dan mobilitas. Agar bisa melaksanakan aktivitasnya sehari-hari dengan lancar tanpa mengalami banyak hambatan, tunanetra perlu menggunakan alat bantu asistif, yaitu alat bantu yang dapat memudahkan tunanetra dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari (Nawawi, 2010). Alat bantu asistif ini bisa dikatakan sebagai pengganti penglihatan.
Pada umumnya, untuk bergerak dan berpindah tempat, penyandang tunanetra menggunakan alat bantu tongkat untuk mengetahui benda yang ada di sekitarnya. Keahlian dalam memakai tongkat ini memerlukan proses pelatihan yang terstuktur agar tunanetra dapat menggunakan tongkat dengan baik (Aqli, 2014). Pada era teknologi ini, telah diciptakan bermacam-macam alat berbasis teknologi untuk memudahkan mobilitas seorang tunanetra, salah satunya adalah Edges Shoes, atau yang dijuluki sebagai sepatu bermata dua.

Psikologi Belajar: Noncontingent Schedule

1.         Contoh tingkah laku dari kehidupan sehari-hari yang di-reinforce dengan noncontingent schedule yaitu :
·      Fixed Time (FT)
Burung beo menerima makanan dari pemiliknya setiap setengah jam sekali tanpa mempedulikan perilaku atau kebiasaan yang dimunculkan burung beo tersebut.
·      Variable Time (VT)
Burung kakak tua menerima makanan dari pemiliknya dalam waktu rata-rata setengah jam (tidak pasti pada menit keberapa diberikannya) tanpa mempedulikan perilaku yang dimunculkan oleh burung kakak tua tersebut.
                                                           
2.         Noncontingent schedule bisa menimbulkan superstitious behavior
à maksudnya yaitu dalam superstitious behavior meliputi adanya perilaku yang dilakukan karena dipercaya bisa mendatangkan suatu reinforcer tertentu. Penguat dalam situasi ini tidak bergantung pada perilaku organisme tersebut sehingga dinamakan penguat nonkontingen (noncontingent schedule of reinforcement).
·      Contoh skenario superstitious behavior yaitu perilaku yang dilakukan kucing ketika mekanisme memberi makan diaktifkan dan diperkuat, dan kucing akan cenderung mengulangi perilaku yang diperkuat itu. Setelah beberapa saat, perilaku yang diperkuat akan muncul lagi saat mekanisme pemberi makan aktif lagi, dan responnya akan semakin kuat. Jadi, kucing tersebut bisa mengembangkan respon ritualistik yang aneh dengan menyerudukkan kepala ke pemiliknya, atau berputar-putar, mengeong, atau melakukan sederetan tindakan lain yang pernah dilakukannya ketika mekanisme pemberian makan mendadak aktif.
à yang menjadi superstitious behavior adalah perilaku menyerudukkan kepala ke pemiliknya, atau berputar-putar, dan mengeong.

3.         Superstitious behavior yang muncul akibat noncontingent schedule tidak selalu buruk karena dengan melakukan superstitious behavior, organisme lain akan mengetahui apa yang sebenarnya diinginkan oleh organisme yang melakukan superstitious behavior tersebut. Selain itu, dalam kasus tertentu pun superstitious behavior bisa meningkatkan rasa percaya diri seseorang meski tanpa dasar yang pasti. Hal ini tercermin dalam superstitious behavior berupa kepercayaan terhadap angka keberuntungan.

Psikologi Belajar: Ratio vs. Response-rate Schedule

1.         Perbedaan antara ratio schedule dengan response-rate schedule yaitu :
·      Ratio schedule adalah proses pemberian reinforcement dengan memperhatikan jumlah perilaku yang harus dilakukan untuk mendapatkan reward.
·      Response-rate schedule adalah proses pemberian reinforcement secara langsung berdasarkan jumlah rata-rata respon pelaku.
2.         Contoh tingkah laku dari kehidupan sehari-hari yang di-reinforce dengan duration schedule :
·      Fixed Ratio (FR)
Pegawai pabrik kue kering baru mendapatkan makan siang atau poin token setelah berhasil menyelesaikan 100 bungkus kue kering.
·      Variable Ratio (VR)
Rania mendapatkan sebuah boneka setelah beberapa kali mencoba permainan slot mesin tanpa sebelumnya dia tahu harus berapa kali mencoba permainan tersebut.

3.         Contoh tingkah laku dari kehidupan sehari-hari yang di-reinforce dengan response-rate schedule :
·       Differential Reinforcement of High Rates (DRH)
Pekerja di perusahaan kue kering harus membungkus 100 bungkus kue kering tiap jamnya.
·       Differential Reinforcement of Low Rates (DRL)
Ibu akan memuji anaknya jika anak tersebut bisa menyapu lantai secara perlahan-lahan.
·       Differential Reinforcement of Paced Responding (DRP)
Seseorang harus memperhatikan tempo pelan, sedang, atau cepat saat menyanyikan sebuah lagu.

Psikologi Belajar: Interval vs. Duration Schedule

1.      Perbedaan antara interval schedule dengan duration schedule yaitu :
·      Interval schedule adalah proses pemberian reinforcement dengan memperhatikan waktu yang harus dilalui sebelum mendapatkan reward.
·      Duration schedule adalah proses pemberian reinforcement dengan memperhatikan performa tingkah laku yang ditampilkan secara terus-menerus dalam waktu tertentu.
2.      Contoh tingkah laku dari kehidupan sehari-hari yang di-reinforce dengan interval schedule :
·      Fixed Interval (FI)
Sonia mendapatkan uang gaji sebesar Rp 7.500.000,00 tiap bulan.
·      Variable Interval (VI)
Sidak atasan terhadap bawahan dalam jangka waktu yang berbeda-beda, dan pegawai yang ada di tempat saat sidak akan mendapat poin token.
3.      Contoh tingkah laku dari kehidupan sehari-hari yang di-reinforce dengan duration schedule :
·      Fixed Duration (FD)
Ratih mendapat hadiah kue coklat kesukaannya setelah berlari memurati lapangan sebanyak lima kali selama 30 menit.
·      Variable Duration (VD)
Rima menunggu jalanan hingga sepi agar pada akhirnya dia bisa menyeberang jalan tersebut.


Contoh Metode Shaping untuk Membentuk Tingkah Laku

Metode Shaping salah satunya adalah Berenang
Pengenalan air à Latihan Pernafasan à Latihan Melompat dalam Air à Latihan Mengapung di Kolam Renang à Latihan Meluncur di Air à Berenang

ü  Pengenalan air
Agar tidak merasa takut atau cemas karena sebelumnya belum pernah masuk ke dalam kolam renang, anak diajak untuk masuk ke dalam kolam yang lebih dangkal dahulu. Setelah terbiasa, anak mulai diajak ke dalam kolam yang lebih dalam dengan tetap bisa menjejakkan kakinya ke dasar kolam renang.
ü  Latihan Pernafasan
Setelah terbiasa dengan medan kolam renang, anak diajak untuk melatih pernafasannya dengan cara menghirup napas dalam-dalam lalu memasukkan kepalanya ke dalam air. Kemudian, anak disuruh untuk meniupkan napas melalui hidung saat kepalanya masih berada di dalam air lalu mengangkat kepalanya ke atas air dengan membuka mulut untuk mengambil napas. Hal ini dilakukan secara berulang-ulang
ü  Latihan Melompat dalam Air
Anak diajarkan untuk melompat dari pinggir kolam ke dalam kolam renang. Hal ini dilakukan agar anak berkurang rasa takutnya terhadap air dan bisa merasa santai menikmati bermain-main dengan air.
ü  Latihan Mengapung di Kolam Renang
Setelah anak merasa santai dan nyaman dengan air, anak diajarkan untuk secara pelan-pelan mengapungkan tubuhnya di atas permukaan air dengan wajah dan pandangan mata menghadap ke lantai atau dasar kolam renang sambil menahan napasnya. Hal ini dilakukan secara santai.
ü  Latihan Meluncur di Air
Setelah bisa mengapung di air, anak diajarkan untuk meluncur. Hal ini dilakukan dengan cara meyuruh anak untuk mengapung di permukaan air lalu menggerakkan kakinya naik-turun seperti orang yang sedang berjalan kemudian tangannya juga ikut digerakkan untuk menyeimbangkan pergerakannya.
ü  Berenang
Setelah bisa meluncur di atas air dengan menyeimbangkan pergerakan tubuh, tangan, dan kakinya, anak kemudian bisa diajarkan beberapa teknik berenang, seperti teknik berenang gaya bebas atau gaya dada.