2.1. Definisi dan Kriteria
Diagnostik Encopresis
Encopresis merupakan perilaku membuang air besar secara berulang di
tempat yang tidak tepat, baik disengaja maupun tidak disengaja (APA, 2013). Berdasarkan
DSM-V (dalam APA, 2013), kriteria diagnostik dari encopresis meliputi :
a. Membuang air besar secara berulang
di tempat yang tidak tepat (celana, lantai), baik disengaja maupun tidak
b. Setidaknya satu peristiwa tersebut terjadi setiap bulan
selama minimal 3 bulan
c.
Usia
kronologis minimal empat tahun (atau sesuai dengan tahap perkembangan)
d.
Perilaku
tidak diatribusikan sebagai efek fisiologis dari zat tertentu (misalnya obat
pencahar) atau kondisi medis lainnya kecuali mekanisme yang mengakibatkan
sembelit
DSM-V
(dalam APA, 2013) mengklasifikasikan encopresis
ke dalam dua subtipe, yaitu with
constipation and overflow incontinence dan without constipation and overflow incontinence.
a. With
constipation and overflow incontinence
Terjadi
apabila ada riwayat atau bukti sembelit pada pemeriksaaan medis. Menurut
Gontard (2012), anak- anak yang mengalami encopresis
jenis ini mengalami berkurangnya intensitas untuk buang air besar dan
konsistensi dari tinja juga seringkali berubah (terlalu padat atau terlalu
encer). Akibat dari perubahan konsistensi tersebut, mereka sering mengalami nyeri saat buang
air besar. Selain itu, mereka juga mengalami sakit perut saat buang air besar
dan nafsu makan pun berkurang.
b. Without
constipation and overflow incontinence
Terjadi
apabila tidak ada riwayat atau bukti sembelit pada pemeriksaaan medis.
Anak-anak yang mengalami encopresis jenis
ini buang air besar secara teratur dan memiliki konsistensi tinja yang normal.
Mereka tidak tidak merasakan nyeri atau sakit saat buang air besar dan tidak
bermasalah dengan nafsu makan (Gontard, 2012).
2.2. Prevalensi dan Perkembangan
Psikopatologi Encopresis
Menurut
APA (2013), diperkirakan prevalensi encopresis
dialami 1% pada anak usia 5 tahun.
Gangguan encopresis lebih banyak
dialami oleh anak laki-laki daripada perempuan. Kemudian dalam Mash &
Wolfe, 2010 dikatakan bahwa gangguan ini akan menurun seiring dengan
bertambahnya usia. Sebanyak satu dari lima anak dengan encopresis menunjukkan masalah psikologis (Peterson et al., dalam
Mash & Wolfe, 2010). Dapat dimaklumi bahwa mereka merasa malu dan menjauhi
beberapa kegiatan yang terdapat banyak orang seperti sekolah atau mengikuti
kemping. Keadaan psikologis penderita encopresis
dapat memburuk apabila terjadi pengucilan dari teman sebaya, mendapatkan
hukuman dan penolakan dari caregiver.
Berdasarkan
APA (2013), diagnosis encopresis
tidak bisa ditegakkan sebelum usia kronologis anak menginjak minimal 4 tahun (atau anak dengan
keterlambatan perkembangan, anak dengan usia mental minimal 4 tahun).
2.3. Etiologi atau Penyebab Encopresis
Toilet training yang agresif atau terlalu awal, gangguan pada keluarga dan
stres, serta psikopatologi anak dikatakan menyebabkan encopresis (Burket et al., Peterson et al., dalam Mash & Wolfe,
2010). Ondersma dkk (dalam Haugaard,
2008) membagi encopresis berdasarkan
penyebab primernya, yakni retentive (encopresis dengan sembelit dan overflow incontinence), manipulative (anak bertujuan
mengeluarkan feses untuk mencapai tujuan tertentu seperti mencari perhatian
atau meluapkan rasa marah), dan stress
related (anak mengalami encopresis ketika
tingkat stres anak tersebut tinggi).
Haugaard
(2008) menyatakan penyebab terjadinya encopresis
dengan sembelit dan overflow
incontinence adalah sembelit kronis (chronic
constipation). Oleh karena itu, penjelasan akan penyebab encopresis sering berkaitan dengan
penyebab sembelit kronis.
Konstipasi
merupakan kesulitan buang air besar dengan konsistensi fases yang padat pada
anak (Afzal, Tighe, & Thomson,
2011). Haugaard (2008) menyebutkan beberapa hal yang menyebabkan chronic constipation, antara lain :
a. Gen
Stark dkk
(dalam Haugaard, 2008) menyatakan bahwa gen berperan dalam meningkatkan resiko
anak mengalami sembelit atau konstipasi, misalnya dalam hal menurunkan
kesadaran anak akan penunya usus besar dan kebutuhan buang air besar atau menyebabkan
anak kesulitan buang air besar.
b. Pola Makan
Haugaard
(2008) menyebutkan bahwa pola makan yang rendah serat dapat menyebabkan
ketidakteratutan buang air besar yang memicu terjadinya sembelit.
c. Stool
Toilet Refusal
Anak yang
menolak untuk mengeluarkan fesesnya juga beresiko mengembangkan konstipasi. Hal
ini dapat berkaitan dengan toilet
training yang diteri,a oleh anak tersebut.
2.4.
Treatment atau Penanganan Encopresis
Christophersen
dan Friman (2010) menyebutkan sebagian besar ahli sepakat bahwa hal pertama
yang harus dilakukan untuk menangani encopresis
adalah memastikan orang tua memahami bahwa anak mereka tidak melakukan hal
tersebut dengan sengaja, dan anak mungkin tidak memiliki kontrol akan hal
tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan menunjukkan diagram sederhana yang
dapat menjelaskan bagaimana fungsi usus yang abnormal dalam encopresis. Sangat penting bagi orang
tua dan anak untuk mengetahui bahwa anak tidak disalahkan atas fungsi usus yang
abnormal dan metode treatment yang
efektif tersedia (Christophersen & Mortweet, dalam Christophersen &
Friman, 2010).
Setelah
itu, clinician dapat menjelaskan
tahapan treatment untuk encopresis. Tahap awal adalah mengurangi
atau menghilangkan sejumlah besar kotoran yang berada di usus besar anak, hal
ini sering disebut sebagai “cleaning out
the colon” (Christophersen & Mortweet, dalam Christophersen &
Friman, 2010). Cara yang paling umum dan efektif untuk membersihkan usus besar
anak adalah menggunakan enema atau suntikan pada usus (Christophersen &
Friman, 2010).
Setelah
usus besar anak dibersihkan, tahapan selanjutnya dalah mencegah usus besar
tersebut terlalu penuh. Christophersen dan Mortweet (dalam Christophersen &
Friman, 2010) menyarankan beberapa hal yang dapat dilakukan secara simultan,
yakni scheduled toilet sits dan oral medications..
Pada scheduled toilet sit, anak diminta untuk
duduk di toilet kira-kira 5 menit sebanyak 2-3 kali sehari untuk membiasakan
anak. Brooks (dalam Haugaard, 2008) menyatakan bahwa schedule toilet sit dapat dilakukan di waktu-waktu tertentu ketika
buang air besar umumnya terjadi. Hal ini sejalan dengan Christophersen dan
Friman (2010) yang menyebutkan bahwa anak-anak biasanya memiliki pola tertentu
dalam buang air besar dan toilet sit dapat
diterapkan saat itu. Misalnya, jika anak biasanya mengeluarkan feses setelah
sekolah namun sebelum makan malam, toilet
sit harus dijadwalkan segera setelah anak yersebut pulang sekolah. Mainan
atau buku favorit anak juga bisa diberikan saat toilet sit untuk mendukung anak. Positive reinforcement atas kooperasi anak juga dapat diberikan,
seperti stiker, mainan, atau waktu tambahan khusus dengan caregiver (Haugaard, 2008; Christophersen & Friman, 2010).
Oral medication diberikan untuk mendorong pembuangan feses secara teratur,
contohnya dengan laxative. Haugaard (2008) menyebutkan bahwa penggunaan
laxative bisa dilakukan segera setelah pembersihan usus besar dengan enema dan
kemudian dikurangi secara bertahap setelah setahun pemakaian.
Selain
kedua hal tadi, treatment untuk encopresis dapat dilakukan dengan
perubahan gaya hidup, khususnya perubahan pola makan (diet) dan olehraga. American Academy of Pediatrics (dalam
Christophersen & Friman, 2010) merekomendasikan konsumsi serat yang
dihitung dengan umur anak + 5 gram. Misalnya, untuk anak berusua 5 tahun, ia
harus mengonsumsi 10 gram serat per hari.
2.5. Komorbiditas Encopresis
Infeksi sistem urin dapat menjadi
komorbid encopresis, umumnya hal ini
terjadi pada perempuan (DSM 5, 2013).
2.6. Prognosa Encopresis
Sebagian
besar anak menunjukkan peningkatan yang positif dengan kombinasi laxative dan behavioral treatment dalam dua minggu pertama treatment dan lebih dari 75% dapat mempertahankan hal ini
(Borowitz, Cox, Ritterband, Sheen, & Sutphen, dalam Mash & Wolfe,
2010).
No comments:
Post a Comment