Elimination
disorder merupakan
gangguan yang meliputi eliminasi urin atau feses secara tidak tepat (APA,
2013). Meskipun ini merupakan masalah yang sering terjadi pada anak-anak, hal
ini dapat menjadi masalah jika perilaku tersebut terjadi berulang kali lebih
dari tiga bulan dan dialami oleh anak yang berumur lima tahun atau lebih, di
mana seharusnya anak sudah bisa mengontrol perilaku tersebut. Terdapat dua tipe
elimination disorder, yakni :
1.
Enuresis
Enuresis berasal dari bahasa yunani, yaitu ouresis yang berarti ‘urination’
2.
Encopesis
Encopresis berasal dari bahasa yunani, yaitu kopros yang berarti ‘excrement’
1.1. Definisi dan Kriteria
Diagnostik Enuresis
Enuresis
merupakan urinasi atau perilaku membuang air kecil secara berulang di tempat
yang tidak tepat, baik disengaja maupun tidak disengaja (APA, 2013). Menurut
Haugaard (2008), enuresis adalah
buang air kecil yang terjadi berulang di tempat yang tidak sesuai, pada usia di
mana sebagian kebanyakan anak-anak lainnya sudah dapat belajar untuk buang air
kecil di toilet. Dalam DSM-V (dalam APA, 2013) kriteria diagnostik dari enuresis meliputi :
a. Urinasi
yang berulang di tempat tidur atau baju, baik secara sengaja maupun tidak
sengaja
b. Perilaku harus signifikan secara klinis;
dimanifestasikan oleh frekuensinya, yakni dua kali seminggu selama tiga bulan
berturut-turut, atau terdapat distress yang signifikan secara klinis atau
kerusakan dalam hal sosial, akademis (pekerjaan), atau area penting dalam
fungsi lainnya
c. Usia kronologis minimal lima tahun (atau
sesuai dengan tahap perkembangan)
d. Perilaku
tidak diatribusikan sebagai efek fisiologis dari zat tertentu (misalnya
diuretik dan obat antipsikotik) atau kondisi medis lainnya (misalnya diabetes,
spina bifida, dan seizure disorder)
DSM-V
(dalam APA, 2013) mengklasifikasikan enuresis
ke dalam tiga subtipe, yakni nocturnal
only, diurnal only, dan nocturnal and
diurnal, dengan penjelasan sebagai berikut :
a. Nocturnal only (monosymptomatic enuresis),
terjadi ketika anak mengompol hanya saat tidur malam, biasanya selama sepertiga
pertama waktu tidurnya. Nocturnal only
ini merupakan subtipe yang paling umum ditemui.
b. Diurnal only (urinary incontinance),
terjadi ketika anak mengompol hanya saat dia terjaga atau tidak sedang tidur.
Subtipe ini dibagi ke dalam dua kelompok, yakni urge incontinence yang berarti anak mengalami urinasi secara
mendadak karena tidak bisa menahan kontraksi kandung kemih yang penuh dengan
urin, dan voiding postponement yang
berarti anak secara sadar menunda urinasi karena alasan tertentu hingga
terjadinya incontinence.
c. Nocturnal and diurnal (nonmonosymptomatic
enuresis), terjadi ketika anak mengalami kedua subtipe tersebut, yakni nocturnal dan diurnal sekaligus.
Selain
itu, APA (dalam Mash & Wolfe, 2010) juga melakukan pengklasifikasian
gangguan enuresis ini ke dalam dua
bagian, yaitu primary enuresis dan secondary enuresis. Tipe primary enuresis mengindikasikan bahwa
seorang anak belum pernah mengalami suatu periode mengontrol urinasi dengan
baik selama enam bulan berturut-turut. Dengan kata lain, primary enuresis ini terjadi pada anak yang tidak mampu mengontol
kandung kemihnya sejak lahir sampai dengan berusia 5-6 tahun (Haugaard, 2008).
Sebaliknya, tipe secondary enuresis mengindikasikan bahwa seorang anak pernah
mengalami suatu periode mengontrol urinasi, namun kembali mengalami
kejadian-kejadian mengompol, biasanya antara umur 5-6 tahun. Dengan kata lain, secondary enuresis ini terjadi ketika
seseorang pernah bisa mengontrol kandung kemihnya atau, yang disebut dengan
“masa kering”, selama periode enam bulan tetapi kemudian mendadak mengompol
kembali.
1.2. Prevalensi dan Perkembangan
Psikopatologi Enuresis
Prevalensi
enuresis yakni 5-10% pada anak usia 5
tahun, 3-5% pada anak usia 10 tahun, dan sekitar 1% pada individu usia 15 tahun
atau lebih (APA, 2013). Selain itu, enuresis
dua kali lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan
(Gontard, 2012). Prevalensi dari kedua bentuk enuresis lebih tinggi pada anak yang berasal dari keluarga dengan
tingkat pendidikan dan sosioekonomi yang rendah (APA, dalam Mash & Wolfe,
2010).
Berdasarkan
definisinya, primary enuresis mulai
terjadi pada usia 5 tahun. Di sisi lain, waktu yang umum untuk onset dari secondary enuresis terjadi antara usia
5-8 tahun. Setelah usia 5 tahun, prevalensi menunjukkan penurunan 15% setiap
tahunnya. Kebanyakan anak dengan enuresis
akan bisa mengontrol urinasinya pada saat memasuki usia remaja, namun kira-kira
1% dari kasus gangguan tersebut berlanjut hingga usia dewasa (APA, 2013).
Sementara itu, diurnal enuresis
jarang terjadi setelah usia 9 tahun. Saat enuresis
berlangsung sampai masa late childhood
atau remaja, frekuensi dari perilaku mengompol tersebut kemungkinan akan
meningkat, sedangkan kemampuan untuk mengontrol urinasi pada masa early childhood biasanya diasosiasikan
dengan berkurangnya frekuensi mengompol saat malam hari (APA, 2013).
1.3. Etiologi atau Penyebab Enuresis
Tidak ada satu pun penjelasan yang jelas
mengenai penyebab enuresis (Comer,
1998). Dari sudut pandang psikodinamika,
enuresis disebabkan oleh adanya konflik dalam area tak sadar. Dalam sudut
pandang ini, enuresis dihipotesakan
sebagai simbol yang berarti adanya kecemasan maupun rasa marah pada orang tua
(Davison & Neale, 1998). Menurut teoretikus
keluarga, enuresis disebabkan oleh
interaksi dalam keluarga yang bermasalah. Sementara itu, aliran behavioristik
berpendapat bahwa enuresis disebabkan
oleh toilet training yang tidak tepat,
dan teori biologis menitikberatkan pada perkembangan sistem urin yang terhambat
sehingga menyebabkan enuresis (Comer,
1998).
Nolen dan Hoeksema (2001)
sendiri mengemukakan bahwa terdapat tiga
etilogi dari enuresis, yakni :
a. Genetic
Vulnerability
Sebanyak
75% anak dengan enuresis memiliki
orang tua yang dulunya juga pernah mengalami enuresis. Anak-anak ini kemungkinan memiliki kerentanan biologis
yang diturunkan dalam bentuk kandung kemih yang lebih kecil daripada ukuran
normal. Terdapat berbagai macam pendapat mengenai mekanisme biologis untuk enuresis, tapi tidak ada satu pun yang
didukung oleh data empiris secara konsisten (Nolen & Hoeksema, 2001).
b. Conflicts
or Anxiety
Teoretikus
aliran psikodinamika dan sistem keluarga menyatakan bahwa enuresis terjadi dikarenakan adanya konflik dan kecemasan akibat
dari masalah atau disfungsi dalam keluarga (Nolen & Hoeksema, 2001). Dalam
beberapa kasus, anak mengalami enuresis
saat ada bayi yang baru lahir dalam keluarganya. Hal tersebut kemungkinan
terjadi karena anak merasa terancam menjadi kurang mendapatkan perhatian dari
orang tuanya, namun anak tidak bisa mengekspresikan perasaannya tersebut secara
bebas.
c. Lax
or Inappropriate Toilet Training
Para
teoretikus dalam aliran behavioristik berpendapat bahwa enuresis terjadi akibat lemah atau tidaktepatnya toilet training yang diajarkan orang tua
kepada anak. Hal tersebut menyebabkan anak tidak pernah belajar secara tepat
mengenai kemampuan untuk mengontrol kandung kemih sehingga menyebabkannya
memiliki masalah dalam hal tersebut selama masa kanak-kanak (Nolen &
Hoeksema, 2001).
Sementara
itu, menurut Mash dan Wolfe (2010), anak dengan nocturnal enuresis ingin buang air kecil saat malam hari, namun
mereka tidak bisa bangun ketika ingin buang air kecil. Anak-anak yang butuh
untuk buang air kecil di malam hari kemungkinan memiliki kekurangan hormon
penting saat tidur yang dikenal sebagai hormon antidiuretik (ADH). ADH membantu
konsentrasi urin selama jam tidur, yang berarti bahwa urin mengandung lebih
sedikit air sehingga mengalami penurunan volume. Untuk anak-anak normal,
penurunan volume biasanya berarti bahwa kandung kemih mereka tidak penuh sampai
melimpah saat mereka tertidur, kecuali mereka minum cairan berlebihan sebelum
tidur. Sementara itu, anak-anak dengan enuresis
tidak menunjukkan peningkatan yang biasa di ADH saat tidur. Mereka tetap
menghasilkan lebih banyak urin selama jam tidur sehingga kandung kemih mereka
tidak dapat menahan, dan jika mereka gagal untuk bangun, mereka akan mengompol
(Mash & Wolfe, 2010).
Alasan
anak tidak bisa bangun saat malam ketika mereka ingin buang air kecil juga
dapat dijelaskan oleh faktor
perkembangan dan biologis (Mash & Wolfe, 2010). Anak yang lebih tua dan
remaja dapat merasakan kandung kemih penuh di malam hari, yang mengaktifkan
impuls saraf dari kandung kemih ke otak. Sinyal ini dapat memulai mimpi tentang
air atau pergi ke toilet, yang biasanya membangunkan mereka. Mekanisme
persinyalan ini matang pada anak usia dini, sehingga bayi dimaklumi memiliki
sangat sedikit kemampuan untuk mendeteksi kebutuhan untuk buang air kecil.
Bagaimanapun, beberapa anak dengan primary
enuresis tidak memiliki perkembangan normal dari pemrosesan sinyal ini di
otak.
Mash dan
Wolfe (2010) pun menyatakan apabila kedua orang tua anak pernah menderita enuresis, maka 77% kemungkinan anaknya
juga akan mengalami ganguan yang sama.
Ketika hanya satu orang tua yang menderita, maka 44% anaknya akan mengalami gangguan. Jika
kedua orang tuanya tidak memiliki gangguan enuresis,
maka kemungkinan anak menderita ganggguan ini adalah 15%. Tingkat kesesuaian
enuresis untuk monozigot adalah 68%
dan dyzygotic 36%. Anak kembar yang
memiliki gangguan juga kemungkinan saudaranya akan mengalami gangguan (Bakwin,
dalam Mash & Wolfe, 2010).
Menurut
Haugaard (2008), penyebab enuresis
ada tiga, yaitu pengaruh genetik, infeksi, serta pengaruh psikologi dan
belajar. Pengaruh genetik menunjukkan bahwa kebanyakan anak yang mengalami enuresis, salah satu atau kedua orang
tuanya biasanya juga mengalami enuresis ketika
masih kecil. Beberapa penelitian mengenai enuresis
yang mempelajari mengenai hubungan genetik dengan enuresis menemukan bahwa ada tiga gen (12q, 13q, dan 22) yang
berhubungan dengan enuresis. Akan
tetapi, hubungan tersebut belum bisa dijelaskan secara pasti karena hubungan
tersebut tidak terjadi pada beberapa kasus, dan enuresis yang menurun pada keluarga tidak berhubungan dengan gen
tersebut.
Pada
infeksi, bakteri pada saluran urin dapat mengganggu kemampuan tubuh untuk
menampung urin dan mengeluarkannya sesuai keinginan yang dapat meningkatkan
kemungkinan mengompol. Infeksi bakteri sebagian besar berperan pada enuresis yang dialami perempuan
dibandingkan laki-laki. Husmann (dalam Haugaard, 2008) menemukan bahwa 50%
perempuan dan 5% laki-laki yang mengalami enuresis
diurnal memiliki infeksi di saluran urin mereka. Hubungan antara infeksi
bakteri dengan enuresis diurnal
diperkuat dengan penelitian yang menemukan bahwa 68% dari anak yang mengalami enuresis dan infeksi pada saluran urin
dapat menghentikan enuresis mereka
setelah mengobati infeksi tersebut.
Strategi
yang biasanya dipakai oleh orang tua untuk menghentikan tingkah laku mengompol
pada anaknya dapat menjadi kunci seorang anak mengalami enuresis. Walaupun orang tua mencoba menghentikannya dengan
melakukan hal yang “logis”, namun terkadang hal tersebut malah berbalik dan
membuat anak mempertahankan perilaku mengompolnya. Salah satu kesalahan yang
sering dilakukan oleh orang tua adalah membangunkan anaknya pada saat malam
hari untuk membuang air kecil. Hal ini akan membentuk pola pada anak untuk
mengeluarkan urinnya ketika masih setengah bangun dan kembali tidur lagi,
persis dengan perilaku yang coba dihilangkan. Strategi lain yang sering menjadi
masalah adalah membatasi cairan yang masuk ke dalam tubuh anak saat siang hari
dengan tujuan agar tidak perlu membuang air kecil saat malam. Hal ini dapat
menyebabkan anak akan sering mengompol, walaupun jumlah urin yang dikeluarkan
tidak begitu banyak. Menghukum anak apabila anak mengompol dilakukan oleh
sejumlah orang tua. Namun, pada beberapa kasus, hukuman justru dapat menambah
stres yang dirasakan oleh anak pada malam hari dan dapat meningkatkan
kemungkinan mengompol.
Selain
etiologi di atas, penelitian menunjukkan
ada hubungan antara stress dan secondary
enuresis. Ferguson (dalam Haugaard, 2008) menyatakan bahwa kemungkinan
hubungan antara stres dengan enuresis
adalah ketika seorang anak mengalami stres, hal itu akan mempengaruhi
kematangan psikologis sang anak dan akan menimbulkan secondary enuresis. Selain itu, pada penelitian lain juga ditemukan
bahwa anak yang mengalami enuresis
sekunder biasanya sering berpisah dengan orang tuanya atau memiliki orang tua
yang bercerai (Jarvelin, Moilanen, Vakevainen-Tervonen, & Huttunen, 1990,
dalam Haugaard, 2008).
1.4. Treatment atau Penanganan Enuresis
Intervensi
perilaku standar,berdasarkan prinsip classical
conditioning dalam mengobati enuresis
adalah penggunaan alarm yang yang
terdengar pada deteksi pertama urin (Mash & Wolfe, 2010). Bed wetting alarm atau alarm mulai ada
sejak “Bell and Pad Procedures”
ditemukan oleh O.H. Mowrer dan W.M. Mowrer.
Bell and pad ini terdiri dari dua lapis kain dengan
fiber logam yang dipisah dengan kain yang tidak ada logamnya. Lapisan logam
terhubung dengan bel, sehingga ketika anak mengalami enuresis atau mengompol, urin yang mengenai kedua lapisan logam
akan membuat bel berbunyi. Bel akan membangunkan anak dan anak dapat membuang
air kecil di toilet. Metode ini cukup sukses dan aman.
Menurut
Mash dan Wolfe (2010) Alarm yang modern memiliki kerja yang berbeda. Mereka
memiliki sensor kelembapan yang terselip di piyama anak, dengan speaker kecil
yang menempel pada bahu untuk membangunkan anak. Satu tetes urin anak yang
keluar akan melengkapi sirkuit elektronik, mengatur alarm untuk menusuk atau
berbunyi yang menyebabkan anak tegang dan refleks menahan kencing. Satu
kelemahan metode ini adalah tidak populernya alarm dengan anggota rumah tangga
lainnya
Agar alarm
ini bekerja efektif ,orang dewasa atau orang tua harus membangunkan anak, dimana ini bukan merupakan
hal yang mudah, mambantu mereka ke kamar mandi, dan membuat mereka
menyelesaikan buang air kecil selanjutnya mereset ulang alarm. Apabila kegiatan
ini dilakukan secara rutin, alarm akan mulai membangunkan anak secara langsung
pada minggu keempat atau keenam dan pada minggu ke 12 mereka akan bisa
mengontrol buang air kecil dan tidak membutuhkan alarm lagi. American Academy of Child and Adolescent
Psychiatry (dalam Mash & Wolfe, 2010) menyarankan alarm modern ini
diikuti dengan behavioral activities seperti
reinforcement sebagai standar pengobatan minimal untuk enuresis.
Metode
perilaku lainnya, berdasarkan berdasarkan prinsip classical conditioning, melibatkan variasi dari dry-bed training (Mash & Wolfe,
2010). Anak-anak dapat mudah bangun apabila hari itu mereka memegang janji atau
kesenangan. Sistem reward seperti tabel atau grafik bintang dan token
memanfaatkan antisipasi ini. Dry bed
training dikembangkan sebagai intervensi yang singkat tapi intensif sebagai
respon dari frustasi orang tua karena menggunakan urine alarm. Pada tahap pertama, orang tua diintuksikan untuk
melakukan bladder retention control
training dengan mengizinkan anak untuk meminum lebih banyak air atau cairan
dalam satu hari dan menunda mereka untuk buang air kecil dalam waktu yang lama.
orang tua diperintahkan dalam pelatihan kontrol kandung kemih retensi dengan
memiliki anak mereka minum lebih banyak dan lebih banyak cairan pada siang
hari, dan kemudian menunda buang air kecil lebih lama (dalam upaya untuk
memperkuat kontrol kandung kemih), jam bangun untuk perjalanan ke toilet,
rutinitas pembersihan, dan reinforcement
positif bergantung pada dry nights.
Rutinitas ini dilakukan saat malam selama 1 sampai 2 minggu.
Menurut
Mash & Wolfe (2010) kombinasi antara dry
bed training dan pengunaan alarm masih banyak digunakan. Tingkat kesuksesan
metode kombinasi ini adalah 3 dari 4 anak, dan tingkat kambuhnya 10% setelah
satu tahun. Pada primary enuresis
yang parah dan berkepanjangan, insentif yang sederhana seperti pemberian
bintang atau token untuk anak yang tidak membuang air kecil di kasur cukup
membuat anak responsif terhadap nighttime
bladder fullness. Anak-anak lain, bagaimanapun, mungkin memerlukan
pengobatan alarm untuk mendapatkan pesan, ditambah dengan pemantauan
profesional untuk membantu orang tua mematuhi metode pelatihan.
Pada
pertengahan 1980-an, desmopresin, sebuah ADH sintetik, menjadi pengobatan untuk
enuresis (Mash & Wolfe, 2010). Desmopresin ini adalah nasal spray sederhana yang diberikan sebelum tidur. Dalam beberapa
hari, sekitar 70% dari anak-anak yang menggunakan desmopresin dapat menghindari
mengompol, dengan y10% atau lebih menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam
jumlah dry nights (Rappaport, dalam
Mash & Wolfe, 2010). Meskipun desmopresin bekerja sangat baik kesulitan
datang ketika obat dihentikan, tingkat kekambuhan yang mucul dapat setinggi 80%
(Fritz, Rockney, et al dalam, Mash & Wolfe, 2010). Tidak seperti sistem
alarm, dimana anak sembuh dari mengompol dalam waktu 12 minggu, pengobatan
dengan obat-obatan yang sering memerlukan beberapa pengobatan perilaku tambahan
sebelum anak mampu berhenti minum obat. Treatment
psikologis untuk enuresis, terutama urine alarm, lebih efektif secara
keseluruhan daripada treatment farmakologis
(Mellon & Houts dalam, Mash & Wolfe 2010). Secara khusus, pengobatan
alarm urin ditemukan unggul daripada jenis lain dari intervensi.
1.5. Komorbiditas Enuresis
Meskipun merupakan kondisi fisik, enuresis sering diikuti dengan beberapa
derajat psychological distress (Mash
& Wolfe, 2010). Hal ini dikarenakan anak-anak yang ditemukan mengompol saat
kelas dan tertidur akan diperlakukan berbeda oleh teman mereka. Mereka akan
diejek, dipanggil namanya dan memunculkan stigma sosial karena masalah ini. Distress ini bergantung kepada tiga hal,
yakni keterbatasan yang dikenakan pada kegiatan sosial, dampak pada harga diri,
termasuk tingkat pengucilan sosial yang dikenakan oleh rekan-rekan serta reaksi orangtua.
1.6. Prognosa Enuresis
Enuresis
adalah gangguan yang terjadi pada anak-anak yang sedang tumbuh, dan gangguan
ini bisa disembuhkan. Bagi mereka yang menerima perawatan, tingkat keberhasilan
keseluruhan dari terapi perilaku adalah 75% (Haugaard, 2008). Sementara itu,
banyak anak-anak yang minum obat guna mengontrol enuresisnya tetapi kemudian kambuh lagi ketika obat dihentikan
(Haugaard, 2008).
No comments:
Post a Comment